Home / Opini

Selasa, 2 Mei 2023 - 12:00 WIB

Politik Jejer Wayang

Politik Jejer Wayang

Oleh : H. Akhmad Jajuli

Tulisan ini dibuat tidak punya maksud lain terhadap etnik Sunda (termasuk warga Banten), melainkan hanya sebagai suatu otokritik kultural terhadap Orang Sunda, yang mayoritas tinggal di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten. Suatu otokritik dari saya sebagai Orang Sunda, sebagai solusi untuk kebersamaan Orang Sunda.

Sesungguhnya sangat banyak pitutur dalam bahasa Sunda yang menunjukkan pentingnya (wajib -red) hidup akur, rukun, guyub, sabilulungan, kompak, solid serta bersatu itu.

Contohnya “Hirup teh ulah pagirang-girang tampian. Kudu ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salebak. Kudu paheuyeuk-heuyeuk leungeun paantay-antay tangan. Sabata sarimbagan sabobot sapihanean” (Bahwa dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bermegara itu jangan suka saling menyombongkan diri. Harus saling menghormati. Harus saling bantu. Harus kompak. Harus saling memahami).

Dalam kenyataannya bagaimana? Konflik sempat terjadi di internal Organisasi Paguyuban Pasundan pada era tahun 70-an. Juga pada era sebelumnya yakni pada saat terbentuknya PARKI (Partai Politik Orang Sunda sebagai metamorfosa dari Paguyuban Pasundan).

Jauh sebelumnya lagi terjadi konflik terkait keberadaan Negara Pasundan, yang mana Orang Banten lebih memilih tetap bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Bung Karno dan Bung Hatta dan Beribukota di Yogyakarta. Yang kemudian memunculkan ORIDAB (Oeang Repoeblik Indonesia Daerah Banten).

Perjuangan Pembentukan Provinsi Banten yang telah digagas oleh sejumlah Tokoh Banten sejak tahun 1953 (Gogo Sandjadirga, Tb. Kaking, dll) hampir-hampir saja tidak terwujud akibat sempat terjadi konflik antara KPPB (Komite Pembentukan Provinsi Banten) yang dipimpin oleh H. Uwes Corny, dkk dengan Pokja PPB (Kelompok Kerja Pembentukan Provinsi Banten) yang dipimpin oleh H. Irsjad Djuwaeli, dkk (tahun 1999) yang mana konflik itu terlihat, antara lain, dalam suatu “Insiden RM Sari Kuring Cilegon.”

Untung saja Letjen TNI Purn. H. Suryadi Sudirdja, yg saat itu menjabat sebagai Mendagri RI, berkenan mengulurkan tangan untuk menjembatani “ketegangan” antara KPPB versus Pokja PPB itu. Solusinya : dibentuk Bakor PPB (Badan Koordinasi PembentukannProvinsi Banten) yang kemudian dipimpin oleh H. Tryana Sjam’un, dengan menempatkan H. Uwes Corny, dkk dan H. Irsjad Djywaeli, dkk dalam wadah Bakor PPB (Januari 2000). Maka akhirnya terbentuklah Provinsi Banten pada 4 Oktober tahun 2000.

Saat ini konflik masih sedang terjadi di kalangan pemuda Banten (yang telah berlangsung sejak 2015 lalu). Hingga kini seolah terjadi kebuntuan untuk bisa bersatu antara KNPI Banten kubu H. Rano Alfath (sebagai Penerus dari “jalur” Akbar Tanjung, Aulia Rahman, Tjahjo Kumolo, Adhyaksa Dault, Idrus Marham di Tingkat Pusat dan seterusnya di Banten mulai Iin Mansyur, Iman Ariyadi, Eten Hilman, Aden Abdul Kholik serta Tanto W. Arban) dengan kubu Ali Hanafiah (Isak Newton, dkk).

Dan belakangan dengan kubu Dwi Nopriadi. Konflik yang telah berlangsung selama DELAPAN TAHUN itu belum juga berakhir. Kenyataan yg sangat memalukan dan sangat disayangkan.

Baca Juga :  Dua Wajah Pancasila

Yang paling mutakhir adalah “silang pendapat” antara sekelompok Tokoh Banten dengan Pimpinan DPRD Banten terkait Pengajuan Tiga Nama Calon Penjabat (PJ) Gubernur Banten, untuk Masa Jabatan 12 Mei 2023 – 2024.

Pada tanggal 5 April 2023 kemarin Pimpinan DPRD Banten telah menetapkan dan mengajukan tiga nama Calon PJ Gubernur Banten kepada Presiden RI melalui Kemendagri RI (ditulis berdasarkan alfabetik) yakni Agus Sudrajat, Al Muktabar dan Sugeng. Saat itu sekelompok Tokoh Banten merasa aspirasinya tidak diakomodir oleh Pimpinan DPRD Banten.

Sikap Orang Sunda Menghadapi Konflik

Konflik biasanya terjadi karena belum/tidak adanya titik temu atas adanya perbedaan kepentingan di antara para pihak. Utamanya menyangkut dua sebab utama : Perebutan Kekuasaan atau Pengaruh dan Perebutan Sumberdaya Ekonomi (Periuk Nasi).

Ketika menghadapi suatu keadaan konflik normalnya terlihat perilaku para pihak sebagai berikut : Saling Mendekat (Approach – Approach), Mendekat – Menjauh (Approach – Avoidance) dan Saling Menjauh (Avoidance – Avoidance).

Para Pihak akan Saling Mendekat apabila mereka merasa harus menjaga kebersamaan dan meyakini bahwa akan terjadi titik temu di antara para pihak itu. Sangat kooperatif. “Kudu daek silih eledan. Kudu daek ngelehan” (harus menunjukkan sikap saling mengalah, saling memberi dan saling menerima).

Perilaku Mendekat – Menjauh biasanya terjadi karena satu pihak merasa lebih kuat, atau atau merasa lebih unggul dari pihak lainnya. Kurang kooperatif. “Terserah kumaha kahayang aing bae” (memaksakan apa yang dimaui oleh pihak yang merasa unggul).

Adapun sikap Menjauh – Menjauh, biasanya terjadi karena para pihak sama-sama keras kepala, sama-sama egois, tidak ada yang berinisiatif untuk mengalah. Sangat tidak kooperatif. Terekspresikan dalam ungkapan “Tibatan wirang mending rangrang” (daripada dipermalukan lebih baik mengorbankan apapun yang dimiliki).

Tiga kondisi umum itu juga dialami dan dihadapi oleh Orang Sunda.

Politik Jejer Wayang

Kusnaka Adimihardja, Antropolog dari Universitas Padjadjaran (UNPAD), Bandung, yang juga sempat menjadi Dosen Penulis dalam Mata Kuliah Antropologi Budaya dan Antropologi Sosial menuturkan, bahwa mata pencaharian asal Orang Sunda itu Berhuma (Berladang) yang cenderung Individual.

Kadang-kadang malah seperti ayam; susah diatur (Adimihardja, 1987). Itu sebabnya Orang Sunda tidak mahir mengatasi masalah (saat berkonflik). Mungkin berbeda dengan warga masyarakat yang berlatar belakang mata pencaharian sebagai pedagang, yang terbiasa saling berinteraksi, saling tawar menawar, saling bernegosiasi.

Pendapat berbeda tentang kondisi sosial Orang Sunda disampaikan oleh Budayawan Asal UNPAD, R. Hidayat Suryalaga, yang menyatakan bahwa Orang Sunda itu akan guyub, rukun, sabilulungan, kompak, solid, bersatu apabila sedang menetap di perantauan. Jauh dari Kampung Halaman. Namun hal yg sebaliknya justeru biasa terjadi apabila Orang Sunda sama-sama menetap di Kampung Halaman.

Hidayat dalam bukunya melanjutkan, bahwa Kehidupan Sosial Orang Sunda itu mirip kehidupan sosial Orang Israel. Ini sikap yang mengherankan (Ceramah Budaya: R. Hidayat Suryalaga, 1986). Orang-orang Israel yg menetap di AS, Inggris, Perancis atau di negara-negara lainnya pasti kompak.

Baca Juga :  Pengamat Sebut Belum Adanya Deklarasi Airin-Ade Menguatkan Rumor Pencalonan yang Tak Pasti di Pilgub Banten

Tapi Orang Israel yang tinggal di negara-nya sendiri cenderung saling berseteru. Kubu Ariel Sharon berseteru dengan lawan-lawan politiknya. Demikian juga kubu Benyamin Netanyahu berseteru versus kubu-kubu politik lainnya.

Jadi sikap Orang Sunda yang kadang-kadsng justeru “Teu akur jeung batur sasumur, jeung batur salembur jeung batur sagubernur” (tidak akur dengan tetangga dekat, dengan tetangga jauh dan dengan sesama warga dalam satu provinsi) dimaklumi namun sekaligus diherankan oleh R. Hidayat Suryalaga. Ini dinilai sebagai suatu anomali.

Orang-orang Sunda yang menetap di Bandung, Jakarta, Lampung, Kalimantan dan daerah lainnya pasti sangat guyub. Tapi terkadang malah tidak guyub saat berada di kampung halaman sendiri.

Tampilnya H. Suryadi Sudirdja dalam kasus “konflik” antara KPPB versus Pokja PPB adalah contoh nyata yang sangat baik. Dalam Bakor PPB itu juga ditampilkan tokoh-tokoh dari KPPB dan tokoh-tokoh dari Pokja PPB.

Itulah yang lazim kita lihat saat menonton pertunjukan Wayang Golek; dimainkan atau tidak dimainkan (sesuai alur cerita yang dibawakan Ki Dalang), namun SELURUH Wayang tetap ditampilkan (ditancapkan) di atas gedebog pisang itu, mulai dari yg berstatus Raja, para Resi, para Ksatria, para Punakawan hingga para Buta.

Di Banten pun harus ada semacam lembaga atau Forum Komunikasi Tokoh- Tokoh dan Warga Banten. Bisa disebut Lembaga Adat atau sebutan lain yang dapat mengakui dan sekaligus menampilkan keberadaan kelompok-kelompok sosial dan para pemangku kepentingan (stake holder) lainnya, antara lain PUB (Perkumpulan Urang Banten), PUWNTEN (Paguyuban Warga Banten), Kasepuhan Banten Kidul, FORKABI, FBR, PPPSBI, TTKKDH, BPPKB, Paguron Terumbu, Paguron Bandrong, Paguron Macan Guling, KNPI, Ormas Kepemudaan serta Perkumpulan atau Organisasi lainnya. Jangan sampai ada pihak yg ditinggalkan atau merasa ditinggalkan. Harus “dijejer”!

Apabila terjadi konflik di antara para Elit atau di antara Warga Banten, maka dapat dieliminir dan diatasi di dalam Lembaga atau Forum Bersama itu dengan bimbingan dan arahan dari tokoh-tokoh yang disegani dan dinilai netral serta independen.

Sebagaimana telah dilakukan di lingkungan masyarakat Adat Minangkabau, Masyarakat Adat Melayu, Masyarakat Adat Bugis, Masyarakat Adat Buton, Bamus Betawi serta lingkungan2 Masyarakat Adat atau kebudayaan lainnya.

Inisiatif untuk mewujudkan Lembaga atau Forum Bersama itu harus datang dari berbagai pihak. Apabila sulit terwujud maka harus ada pihak yg berinisiatif; dari PUB atau PUWNTEN atau dari pihak lainnya.

Patokannya sejumlah orang akan senantiasa bisa bersama-sama apabila memiliki yujuan bersama, Aturan Bersama dan Agenda Bersama.

“Ulah hirup Paaing-aing. Ulah hirup Kumaha Aing” (jangan hidup terpisah, tercerai berai, harus bersatu. Jangan egois, jangan memaksakan kehendak sendiri).

Serang, 1 Mei 2023 (10 Syawal 1444 H)

Penulis adalah Warga Banten asal Cilangkahan, Malingping, Kabupaten Lebak

Share :

Baca Juga

Opini

Krisis Loyalitas di Pemprov Banten?

Opini

Bullying, Cyberbullying dan Ragging

Opini

Belanda Akui 17 Agustus 1945

Opini

Lebaran Bukan Liburan

Opini

Limbah Kulit Singkong Jadi Edible Coating: Buah dan Sayur Lebih Awet!

Opini

MK Izinkan Kampanye di Sekolah dan Kampus?

Opini

Pengaruh E-commerce terhadap Pertumbuhan UMKM di Indonesia

Opini

Manusia, Pembangunan dan Kebudayaan