BagusNews.Co – Isu penipuan yang semakin marak di tengah pesatnya perkembangan teknologi terus menjadi perhatian publik. Bidang Pengawasan Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen (PEPK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan bahwa IASC (Indonesia Anti-Scam Centre), forum koordinasi OJK dalam penanganan penipuan, mencatatkan total 44.236 laporan dengan total kerugian
yang dilaporkan sebesar Rp726,6 miliar.
Laporan tersebut disampaikan dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI DPR RI pada Rabu, 19 Februari 2025, yang bertempat di Ruang Rapat Komisi XI DPR RI, Senayan, Jakarta.
Selain itu, PEPK OJK juga melaporkan bahwa penipuan, seperti pembobolan rekening, skimming (pencurian informasi kartu debit atau kredit), phishing (pencurian informasi pribadi), dan social engineering (memanfaatkan keadaan psikologis manusia), menjadi isu
teratas dalam layanan pengaduan.
Hal ini juga dibenarkan oleh Anggota DPR RI Komisi XI, Fraksi Partai Gerindra Dapil Banten II, Annisa M.A. Mahesa.
Dalam rapat tersebut, Annisa mengungkapkan bahwa ia sering menerima laporan terkait kasus penipuan, terutama yang melibatkan pengerjaan tugas online yang berawal dari scam aplikasi. Modus penipuan ini biasanya berupa tawaran pekerjaan mudah, seperti subscribe, like, atau komentar pada akun YouTube yang telah ditentukan.
Setelah menyelesaikan tugas-tugas tersebut, korban kemudian mendapatkan komisi senilai puluhan ribu rupiah. Nominal tersebut terus meningkat apabila korban melanjutkan tugas lainnya secara berturut-turut. Namun, seiring berjalannya waktu, penipu akan mulai meminta
deposit sebagai jaminan untuk tugas berikutnya, dengan janji bahwa korban akan mendapatkan komisi yang lebih besar.
Annisa menekankan bahwa hal ini merupakan salah satu bentuk manipulasi psikologis, yang membuat korban terjebak dalam pola pikir bahwa uang yang mereka keluarkan akan kembali dalam jumlah yang lebih besar.
“Perlu kajian lebih lanjut untuk mengetahui apakah blokir rekening penipu sudah efektif? Kajian lebih lanjut juga perlu dilakukan oleh IASC untuk penyelesaian konflik yang benar-benar efektif, karena masyarakat tidak hanya butuh tempat pengaduan, tapi juga uangnya kembali.” ungkap Annisa.
“OJK harus mencari jalan keluar yang lebih efektif dari hulu ke hilir untuk kasus-kasus
penipuan agar uangnya bisa kembali,” lanjutnya.
Annisa juga menyoroti Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) OJK, yang
seharusnya menjadi solusi bagi konsumen. Namun, hingga saat ini, LAPS belum berfungsi secara optimal. Proses penyelesaian sengketa yang membutuhkan waktu lama dan biaya yang cukup tinggi sering kali menjadi beban bagi konsumen yang mencari keadila. (Red/Dede)