BagusNews.Co – Gawekuta Instute dan Komunitas Nalar Provinsi Banten merilis hasil survei terkait Potret Pendidikan Inklusi di Banten.
Hasilnya, 25 persen siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) di Banten mengalami slow learner atau lamban belajar. Kondisi tersebut menyebabkan peserta didik kurang tanggap terhadap mata pelajaran, sehingga menyerah terhadap kondisi kelasnya dan memilih mengundurkan diri atau putus sekolah.
“Bahkan temuan kami di salah satu SMA yang bukan sasaran program inklusi, ditemukan 249 peserta didik dari 900 peserta didik mengalami kategori lamban belajar,” kata Peneliti Utama Komunitas Nalar, Ginanjar Hambali saat memaparkan hasil surveinya, dalam rilis hasil survei Gawekuta Instute dan Komunitas Nalar yang diterima BagusNews.Co pada Selasa (28/3/2023).
Ginanjar melanjutkan, temuan 25 persen siswa SMA di Banten terancam putus sekolah lantaran mengalami slow learner atau kondisi peserta didik mengalami lamban belajar, karena memiliki potensi intelektual sedikit dibawah rata-rata anak sebayanya, tetapi tidak termasuk dalam kategori peserta didik dengan hambatan intelektual (biasanya memiliki IQ antara 70-90).
“Angka 25 persen inj sangat mengkhwatirkan mengingat Banten saat ini sedang giat mendorong Angka Partisipasi Sekolah (APS). Kalau melihat kenyataan di lapangan, tentu saja kelambanan dalam belajar ini akan berakibat pada peserta pendidik mengalami putus sekolah sehingga APS di Banten akan menurun,” tuturnya.
Masih dikatakan Ginanjar, sejauh ini sekolah dengan program inklusi masih terbatas dan membutuhkan perhatian khusus.
“Mungkin untuk membuat sekolah inklusi itu mahal ya. Sehingga jalan keluarnya, bisa dilakukan dengan melatih beberapa guru yang paham tentang pendidikan inklus,” bebernya.
Ia berharap, pemerintah daerah dalam hal ini Pemprov Banten yang mengelola SMA/SMK segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sekolah inklusi.
“Berdasarkan wawancara dengan beberapa guru, khususnya sekolah Inklusi SD dan SMP mereka saat ini bingung masuk kewenangan siapa,” pungkas Ginanjar.
Senada, founder Gawekuta Institute Bahroji mengatakan, survei yang dilakukan Gawekuta Instute dan Komunitas Nalar terkait Pendidikan Inklusi di Banten dilakukan akhir tahun 2022 hingga awal tahun 2023.
“Kami memotret pendidikan inklusi di Banten melalui survei sejak November 2022 hingga Februari 2023,” kata Bahroji tanpa merinci jumlah SMA yang disurvei.
Ia berharap temuin tersebut menjadi perhatian para pemangku kepentingan dan stakeholder, terutama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten.
“Pentingnya kita untuk melakukan survey dan riset untuk menemukan fakta. Evaluasi dilapangan dengan basis data harus menjadi concern pemerintah,” ungkapnya.
Bahroji menambahkan, tradisi survey untuk memotret kebijakan-kebijakan publik ini perlu dilakukan agar menjadi pedoman para policy maker.
“Dengan begitu ada chek and balance dan bisa melahirkan kebijakan berkelanjutan serta pro public,” tutur Bahroji. (Red/Dede)