Soekarno dan Banten
(Refleksi Bulan Bung Karno)
Oleh: Bung Karna
Bulan Juni adalah Bulan Bung Karno, karena beliau lahir (tanggal enam), wafat (tanggal dua puluh satu) dan menemukan konsepsi Pancasila yang disampaikan dalam sidang Badan Persiapan Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal satu, yang kemudian diperingati hari lahirnya Pancasila, semua peristiwa itu terjadi pada Bulan Juni.
Saya mengenal sosok Bung Karno sejak masa kanak-kanak ketika duduk di bangku sekolah dasar, di dinding rumah saya menempel sebuah poto sesosok pria bertubuh tinggi, kurus, berpeci hitam miring ke kiri, mata setajam rajawali menatap kedepan dan berdiri tegak berpakaian putih seragam militer angkatan laut, dengan menggenggam keris ditangan kiri dan tangan kanan tegak lurus ke bawah, seraya mengepal diatas sepotong meja marmer khas jawa yang menyender ke tembok.
Sambari belajar membaca, saya mengeja tulisan dalam gambar tersebut terdapat kalimat : ‘Kutitipkan bangsa dan negara padamu” dibawahnya tertulis : IR. Soekarno (Presiden RI pertama). Foto dan tulisan itu memprovokasi pikiran saya, saat duduk di bangku kelas empat SD di kawasan Pantai Carita, Kabupaten Pandeglang, Banten, dimana fundamen memori, pemikiran dan keingintahuan mulai terbentuk.
Keingintahuan atas sosok IR. Soekarno mendorong saya untuk bertanya kepada ayah, tentang siapa dan bagaimana IR. Soekarno. Sejak pertanyaan itulah ayah bercerita bak cerita 1001 malam yang terkenal dalam dunia satra dan dongeng.
Cerita tentang Soekarno tidak pernah habis sepanjang eksistensi Indonesia sebagaimana nama dan gelarnya IR (Insinyur). Soekarno jika dibalik menjadi Soekarno RI (Republik Indonesia). Keingintahuan atas IR. Soekarno tidak berhenti hanya mendengarkan cerita ayah, tetapi terus bergelora dalam jiwa hingga memasuki fase-fase pendidikan, bahkan sejak usia SMP, penulis sudah bercita-cita ingin seperti IR. Soekarno dan sejak SMA penulis mencari buku-buku berkaitan dengan IR. Soekarno, dan menemukan serta membaca buku Dibawah Bendera Revolusi jilid I Tahun 1964 milik ayah teman saya yang mantan Komandan Pos Polisi (satuan setingkat dibawah Polsek) dekade 1970-an.
Pencarian dan keingintahuan penulis menemukan momentum ketika kuliah di Bandung dan larut dalam mengarungi pemikiran IR. Soekarno. Tidak puas dengan membaca buku, penulis pun masuk sebuah organisasi mahasiswa bergambar kepala banteng dalam lingkaran putih yang selalu mengusung gambar dan pemikiran IR. Soekarno, organisasi itu bernama Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI).
Cerita ayah saya, bahwa IR. Soekarno adalah manusia dengan berbagai dimensi sebagaimana yang ditulis dalam Otobiografinya “Bung Karno penyambung lidah rakyat” Cindy Adam, “Biografi Politik Soekarno” R. William Liddle dan buku lainnya.
Tetapi ada yang menarik dari cerita berkaitan dengan relasi Soekarno dan Banten, yaitu : Pertama, Soekarno adalah keturunan Sultan Banten dengan nama Tubagus Koesno Wibowo yang dilahirkan di Surabaya dan pada masa bayi dititipkan kepada seorang guru sekolah rakyat (SD pada jaman Belanda). Penitipan bayi Tubagus Koesno tersebut bertujuan untuk menyelamatkan bayi dari incaran dan monitoring Penjajah Belanda, karena Sultan Banten beserta keturunannya dianggap ‘ekstrimis’ alias pembangkang oleh Belanda.
Cerita ini mirip cerita Raden Kamandaka anak salah satu Raja Pajajaran yang dititipkan sejak bayi kepada pasangan suami istri agar kelak Kamandaka tumbuh dalam kehidupan rakyat dan ‘merasai’ kehidupan rakyat secara faktual sebagai bekal untuk menjadi raja atau Cerita Ken Arok yang sejak bayi dititipkan kepada Ki Bango Samparan dan istrinya (Pramudya Ananta Toer dalam Arok Dedes).
Tentu cerita ini di ‘anggap’ dongeng bahkan mengada-ada khususnya pembaca sejarah (atau dalam perspektif sejarawan) Banten. Namun cerita ini, setidaknya dapat menjadi ‘petunjuk’ bagi sejarawan untuk menelusuri kebenarannya melalui titik-titik simpul korelasi historis, yaitu : secara legal formal Soekarno lahir di Surabaya dengan nama Koesno dan ayahnya seorang guru bernama Raden Soekemi serta Sultan Banten terakhir dibuang oleh Belanda ke Surabaya.
Kedua, Soekarno diceritakan pernah ‘bertapa’ disuatu tempat di Ujung Kulon yang merupakan salah satu geo-mistik (dianggap keramat dalam cerita babad) di Banten dan satu ‘perguruan’ dengan Ki PLen seorang tokoh jawara yang namanya legendaris hingga kini sebagaimana Hercules dalam mitologi Yunani. Konon jawara-jawara Banten dari dulu hingga kini memiliki genealogi keilmuan (sanad) dengannya.
Ketiga, banyak orang-orang yang `ngelmu kebantenan’ menyatakan bertemu dengan Soekarno. Persepsi seperti ini lebih bersifat metafisis dan hanya dapat dicerna dengan pemahaman spiritual dalam teori sufistik. Bahkan lebih ekstrem lagi mereka ‘menganggap’ Sokerano adalah ‘Wali’ (suatu tahapan spiritual tertinggi dalam teori Sufisme Islam).
Keempat, Soekarno adalah satu-satunya Presiden yang pernah memasuki suatu tempat di wilayah Baduy Dalam yang merupakan epicentrum sosio-spiritual dan sosio-kultural masyarakat Baduy. Ketika penulis bertemu Ayah Mursid, salah seorang tokoh masyarakat Baduy saat ini dan menanyakan kepadanya, apa benar Soekarno pernah masuk ke Baduy Dalam (tentu dengan berjalan kaki yang cukup melelahkan) ? jawaban Ayah Mursid : Dongengna mah kitu (maksudnya ceritanya seperti itu), sebuah jawaban yang dapat ditafsirkan ‘benar’.
Kelima, dalam beberapa referensi yang ditulis kaum Nahdliyin, bahwa Soekarno sering mengikuti pengajian kepada Syaikhona Kholil Bangkalan Madura dan Syaikhona Kholil adalah salah satu murid Syekh Nawawi Al-Bantani yang menjadi Imam dan Pengajar di Masjidil Haram Mekah.
Dengan demikian Soekarno adalah ‘cucu murid’ Syekh Nawawi. Kei-Islama-an Bung Karno diakui oleh intelektual muslim Indonesia dulu dan kini yang diaktualisasikan dalam berbagai buku dan artikel dengan varian persepektif yang berbeda.
Sebagaia contoh, perilaku takzim Soekarno ketika berziarah ke Makam Rasulullah Muhammad SAW yang merangkak beberapa meter sebelum makam seraya berkata : ‘Aku hanyalah pemimpin dan Presiden Repubik Indonesia, sedangkan Engkau adalah pemimpin umat seluruh dunia dan akhirat’, merupakan manifestasi ke-tawadhu-annya.
Kala berkunjung ke Irak pada 3 April 1960, Bung Karno berziarah ke makam Syekh Abdul Qadir Jaelani, pendiri Tarekat Qodariah Wa Naqsabnadiyah (TQN) yang dijuluki Sultonil Auliya (Rajanya Para Wali) dan menjadi wasilah dalam setiap doa yang dipanjatkan bagi sebagian masyarakat Banten dulu hingga kini. Pendek kata, keberagamaan Bung Karno mentransendensi (meng-Atas-i) keberagamaan masyarakat Banten pada umumnya.
Keenam, dalam pidato pembelaan (Pledoi)-nya ‘Indonesia Menggugat’, Soekarno mengelaborasi dan mendeskripsikan penderitaan rakyat. Menurut para sejarawan, elaborasi dan deskripsi tersebut salah satu inspirasinya dari Max Havelaar karya Multatuli yang menceritakan penderitaan masyarakat koloni (lokal) dengan setting realitas masyarakat Lebak saat itu.
Ketujuh, terkonfirmasi secara historis bahwa ketika Soekarno terpilih dan ditetapkan menjadi Presiden oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945, sejak itu pula Soekarno membentuk organisasi perangkat negara mulai dari pusat (kabinet) hingga pemerintah daerah.
Dalam korelasi dengan Banten, Soekarno mengangkat para Kyai menjadi kepala daerah. yaitu KH. Tubagus Ahmad Chatib sebagai Residen Banten, KH. Tubagus Abdul Hadi sebagai Bupati Tangerang, Brigjen KH. Syam’un menjadi Bupati Serang (yang pada 10 November 2018) ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, KH. Tubagus Abdoelhalim sebagai Bupati Pandeglang dan KH. Tubagus Hasan sebagai Bupati Lebak dan mengangkat jawara-jawara menjadi Jaro (semacam Kepala Desa).
Cerita dan fakta sejarah di atas, merupakan representasi memori kolektif masyarakat Banten, dari generasi ke generasi hingga saat ini. Terlepas dari cerita tersebut benar atau salah dan (masih) membutuhkan konfirmasi dan validitas historis.
Tetapi kita, terutama generasi muda (milenial dan Z) sebagai kader-kader bangsa dapat menarik pelajaran dari bagaimana Soekarno membangun integrasi personal secara kohesif dengan masyarakat (khususnya masyarakat Banten) melalui kepiawaian komunikasi, penguasaan psikologi sosial dan penalaran yang menyusup kedalam jiwa masyarakat Banten.
Dalam kultur kepemimpinan Jawa disebut dengan Manunggaling Kawula Lan Gusti yaitu bersatu dan ‘sambung rasanya’ pemimpin dengan rakyat serta teori Soekarno “didukung dan mendukung natur” artinya siapapun yang mengklaim Nasionalis atau Soekarnois harus selaras, senafas dan senyawa dengan rakyat untuk menjaga dan merawat Bangsa dan Negara, sebagaimana dititipkan oleh IR. Soekarno dalam gambarnya.
Allahummaghfirlahu warhamhu wa afihi wa’fuanhu, wa nuron qubrohu birohmatika ya Arhamarrohimin, khususon Proklamator, Penyambung Lidah rakyat, Penggali Pancasila, Presiden Pertama RI, IR Soekarno. Aamiin
Banten, 21 Juni 2023
Penulis adalah Murid Bung Karno di Banten